Menjadi sahabat ketiga

"Dalam hidup kita harus saling memegang
amanah, berlaku benar dan tidak mengelak
tanggung jawab."

Dua orang sahabat bak pinang dibelah
dua, tak terpisahkan! Mereka berkawan
sejak kecil dan saling menaruh percaya.
Seorang adalah pedagang, dan seorang
lain bendahara kerajaan. Namun,
pergolakan politik membuat kerajaan
pecah. Disintegrasi membuat kedua
sahabat itu terpisah di dua negeri yang
berbeda. Setelah dua tahun lewat, si
pedagang ingin mengunjungi sahabatnya.
Lalu ia pergi ke negeri seberang, tempat
sahabatnya menetap.

Ketika si pedagang tengah berjalan-jalan
di tengah kota, raja segera diberi tahu,
“Raja ada seorang mata-mata lalu-lalang
di negeri kita!” Tampak sigap, sang raja
memerintahkan menangkap si pedagang.
“Hai, kamu mata-mata, apa yang kamu cari
di negeriku?” raja mulai mengintrogasi
si pedagang. “Hamba hanya pedagang yang
ingin mengunjungi seorang sahabat di
negeri ini,” jelas si pedagang. Alasan
itu diacuhkan dan kecurigaan sang raja
jauh lebih berkuasa.

Dalam persidangan yang serba kilat,
hukuman mati dijatuhkan! Lalu di
pedagang sujud menyembah sang raja,
“Perkenankan hamba kembali ke negeri
hamba terlebih dahulu. Hamba harus
menyerahkan semua investasi hamba kepada
anak dan istri, jika tidak, mereka akan
terlantar dan hidup dalam kesengsaraan.
Setelah itu hamba akan kembali untuk
menjalani hukuman mati!” “Gila! Apa aku
ini raja bodoh? Mana ada tawanan
dilepaskan, dan mau kembali untuk
mencari mati?” sahut sang raja. “Ya
mulia, hamba punya seorang sahabat di
negeri ini, dia belahan jiwa saya. Dia
pasti mau menjadi jaminan bagi hamba!”
usul si pedagang.

Lalu menghadaplah si bendahara kerajaan
kepada raja! “Benarkah terpidana ini
karibmu?” tanya raja. “Benar, paduka.
Dan hamba bersedia menjadi jaminan
baginya. Bagi hamba ini sebuah amanah.
Bahagia rasanya melihat sahabat hamba
pergi menempuh risiko untuk mencari
hamba, dan kini hamba rela menawarkan
hidup ini untuknya!” si bendahara
mencoba meyakinkan sang raja. “Ingat!
Jika dia tidak kembali dalam waktu tiga
puluh hari, kepalamu yang aku pancung!”
tegas sang raja! Sahabat itu mengangguk
setuju. Saat akhir batas waktu yang
disepakati, raja menanti si pedagang
hingga sore hari.

Si pedagang tak kunjung datang. Segera
setelah matahari terbenam raja
memerintahkan tawanan segera dipancung!
Sementara leher si bendahara sudah di
bawah eksekusi pancungan, tiba-tiba
seseorang berteriak, “Raja, raja, hamba
datang! Jangan pancung sahabat hamba!”
Si pedagang menarik tubuh sahabatnya,
dan merebahkan dirinya di bawah kapak
pancungan! “Sekarang aku telah siap
untuk menjalani hukumanku!” katanya
seraya menatap tajam sahabatnya, “terima
kasih karena engkau mempercayaiku!”

Si bendahara tak ingin bergeser dari
pancungan! “Tidak! Aku sudah siap mati
untukmu! Engkau telah mengamanahkan
kepadaku, dan sesungguhnya jika engkau
tak ke negeri ini mencariku, tak akan
ada masalah ini, jadi...!” Perdebatan di
bawah eksekusi pancungan itu berlangsung
sengit, dan membuat raja amat terperangah.

Ia belum pernah melihat persahabatan
seperti ini. “Diam, diamlah! Kalian aku
bebaskan! Kalian tidak perlu mati.
Persahabatan kalian yang mendalam itu
adalah permata yang mahal,” seru raja,
“dan aku mohon kepada kalian, izinkan
aku menjadi sahabat ketiga kalian...”
Raja menjadi sahabat ketiga dan mereka
belajar sebuah hikmat, bahwa dalam hidup
kita harus saling memegang amanah,
berlaku benar dan tidak mengelak
tanggung jawab, termasuk dalam mengisi
persahabatan.

No comments: